Kitab Kuning: Pengertian Rukshah

Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya),Hal. 18-19

( وَالْحُكْمُ ) أى الشرعى اذ الكلام فيه ( إِنْ تَغَيَّرَ ) من حيث تعلقه من صعوبة له على المكلف ( إِلَىْ سُهُوْلَةٍ ) كأن تغير من حرمة شئ الى حله ( لِعُذرٍ مَعَ قِيَامِ السَّبَبِ لِلْحُكْمِ الأَصْلِيِّ ) المختلف عنه للعذر ( فَرُخْصَةٌ ) أى فالحكم السهل المذكور يسمى رخصة وهى بإسكان الخاء أكثر من ضمها لغة السهولة ( وَاجِبَةٌ وَمَنْدُوْبَةٌ وَمُبَاحَةٌ وَخِلاَفُ الأَوْلَىْ ) هذه الصفات اللازمة بيان لأقسام الرخصة الممثل لها على هذا الترتيب بقولى ( كَأَكْلِ مَيْتَةٍ ) لمضطر ( وَقَصْرٍ ) من مسافر بقيد زدته بقولى ( بِشَرْطِهِ ) بأن كره القصر أوشك فى جوازه وكان سفره يبلغ ثلاث مراحل فاكثر ولم يختلف فى جواز قصره كما هو معلوم من محله ( وَسَلَمٍ ) وهو بيع موصوف فى الذمة بلفظ سلم ( وَفِطْرِ مُسَافِرٍ ) فى زمن صوم واجب أصالة أو بنذر أو قضاء ما فات بلا تعد ( لاَيَضُرُّهُ الصَّوْمُ ) فإن ضره فالفطر أولى والمعنى ان الرخصة كحل المذكورات من

وجوب وندب وإباحة وخلاف الأولى وحكمها الأصلى الحرمة وأسبابها الخبث فى الميتة ودخول وقتى الصلاة والصوم فى القصر والفطر لأنه سبب لوجوب الصلاة تامة والصوم والغرر فى السلم وهى قائمة حال الحل واعذار الحل الإضطرار ومشقة السفر والحاجة الى ثمن الغلات قبل إدراكها وسهولة الوجوب فى أكل الميتة لموافقته غرض النفس فى بقائهاوقيل انه عزيمة لصعوبته ومن الرخصة المباحة إباحة ترك الجماعة فى الصلاة لمرض أونحوه وحكمه الأصلى الكراهة وسببها قائم حال الإباحة وهو الإنفراد فيما يطلب فيه الإجتماع من شعائر الإسلام وقد بينت فى الحاشية كمية أقسام الرخصة الحاصلة بالإنتقال من حكم الى آخر وقضية ما ذكر ان الرخصة لاتكون محرمة ولامكروهة وهو كما قال العراقى ظاهر خبر " ان الله يحب أن تؤتى رخصه "
وما قيل من انها تكون كذلك حيث قيل ان الإستنجاء بذهب أوفضة يجزئ مع انه حرام وان القصر لدون ثلاث مراحل جائز مع انه مكروه كما قاله الماوردى أجيب عن أولهما بأن الإستنجاء بما ذكر جائز على الصحيح أى فى غير ما طبع أو هيئ لذلك اما فيه فيجاب بأن هذه الحرمة ليست لخصوص الإستنجاء حتى تكون رخصة بل لعموم الإستعمال وعن ثانيهما بأن الماوردى أراد انه مكروه كراهة غير شديدة وهى بمعنى خلاف الأولى ولك ان تقول الرخصة انما لم توصف بالحرمة لصعوبتها مطلقا وهذا منتف فى الكراهة كخلاف الأولى لأنهما سهلان بالنسبة الى الحرمة

(Dan hukum) yakni syar’i, karena pembahasan tentangnya (jika berubah) yakni ditinjau dari sisi ta’alluq hukum dari yang sukar atas mukallaf (kepada mudah), seperti berubah dari haram kepada halal sesuatu (karena ‘uzur sedangkan sebab hukum asal tetap ada) yakni hukum asal yang tidak berlaku karena ‘uzur (maka itu adalah rukhshah). Artinya, hukum yang mudah tersebut dinamakan dengan rukhshah. Lafazh rukhshah diucap dengan sukun al-kha lebih banyak dari zhammah, pada lughat bermakna mudah – (baik itu wajib, mandub, mubah atau khilaf al-aula). Sifat-sifat lazimah ini merupakan penjelasan atas pembagian rukhshah yang contohnya atas tertib ini dengan perkataanku : (seperti makan bangkai) bagi orang yang mudharat, (qashar) orang musafir dengan qaid yang aku tambah dengan perkataanku : (dengan syaratnya,) yakni ada yang membenci qashar atau ragu kebolehannya, sedangkan perjalanannya itu tiga marhalah atau lebih, padahal tidak terjadi khilaf tentang kebolehan qasharnya sebagaimana dimaklumi pada tempatnya (dan salam) yaitu jual beli yang disifatkan dalam tanggungan dengan menggunakan lafazh “salam” (serta berbuka puasa bagi musafir) dalam zaman puasa wajib pada asal atau dengan sebab nazar ataupun dengan sebab qadha yang lufut dengan tidak sengaja (dimana puasa tersebut tidak memudharatkannya). Maka jika dapat memudharatkannya, berbuka lebih baik. Maknanya : Sesungguhnya, rukhshah seperti halal-halal yang telah disebutkan terdiri dari wajib, mandub, mubah dan khilaf al-aula, sedangkan hukum asalnya adalah haram dan sebab-sebabnya adalah menjijikan pada bangkai, masuk waktu shalat dan puasa pada qashar dan berbuka puasa karena masuk waktu merupakan sebab bagi wajib shalat yang sempurna dan puasa, tipuan merupakan sebab bagi jual beli salam. Sebab-sebab tersebut tetap ada ketika halal. ‘Uzur yang menyebabkan halal adalah mudharat, kesukaran perjalanan, dan kebutuhan kepada harga suatu benda sebelum mendapatinya. Sedangkan kemudahan wajib pada makan bangkai karena sesuai maksud jiwa dalam mengekalkan jiwa tersebut.

Ada yang mengatakan, wajib makan bangkai tersebut adalah ‘azimah karena sukarnya. Termasuk rukhshah yang mubah adalah mubah meninggalkan jama’ah pada shalat bagi orang sakit dan seumpamanya, dimana hukum asalnya makruh, sedangkan sebabnya tetap ada pada ketika mubah, yaitu sendiri-sendiri dalam hal yang dituntut berkumpul yakni syiar Islam. Sudah aku jelaskan dalam al-Hasyiah jumlah pembagian rukhshah hasil dari berpindah dari satu hukum kepada hukum yang lain dan kesimpulan dari yang telah disebutkan itu sesungguhnya rukhshah tidak ada yang haram dan makruh. Ini sebagaimana pendapat al-Iraqi merupakan zhahir dari hadits : Sesungguhnya Allah mencintai didatangkan rukhshahnya.”
Sedangkan apa yang dikatakan, bahwasanya rukhshah ada seperti itu dimana dikatakan, sesungguhnya istinja’ dengan emas dan perak memadai serta haram dan qashar dibawah tiga marhalah boleh serta makruh sebagaimana pendapat al-Mawardi. Dijawab untuk masalah pertama, sesungguhnya istinja’ dengan apa yang telah disebutkan itu boleh menurut pendapat shahih, artinya pada bukan yang tuangkan atau yang sediakan untuk itu. Adapun padanya dijawab bahwasanya haram ini bukan karena khusus istinja’ sehingga ada rukhshah itu, tetapi karena umum pemakaian. Dan dijawab untuk masalah kedua, sesungguh al-Mawardi menghendaki makruh tersebut dengan makruh yang tidak berat dan ianya semakna dengan khilaf al-aula. Kamu boleh juga mengatakan, sesungguhnya rukhshah tidak disifati dengan haram adalah karena sukarnya secara mutlaq, ini ternafi pada makruh, sama juga khilaf al-aula karena keduanya mudah dengan dinisbahkan kepada haram.

Penjelasan
(1). Dikaidkan dengan ini karena hukum merupakan kalam nafsi Allah yang qadim, karena itu hakikat hukum tidak berubah, yang berubah hanya ta’alluq-nya (pemberlakuannya). Abdurrahman al-Syarbainy mengatakan :
“Maka makna ‘ibaratnya ketika itu ; titah Allah jika putus ta’alluq-nya atas jalan sukar dan berlaku ta’alluq-nya atas jalan mudah, ini dinamakan rukhshah.”

(2). Yakni wajib, mandub, mubah dan khilaf al-aula. Disebut sifat lazimah (selalu ada) bagi rukhshah karena rukhshah tidak terlepas dari salah satu dari empat hukum ini

(3). Dengan demikian, rukhshah terbagi atas rukhshah wajib, mandub, mubah dan khilaf al-aula.

(4). Dalam Hasyiah al-Banany ala Syarh Jam’u al-Jawami’ disebutkan :
“Ada kritikan memasukan salam dalam katagori rukhshah, karena salam tidak terbenar atasnya ta’rif rukhshah, karena pada salam tidak berlaku hokum haram sama sekali, sehingga dipastikan ada berubah hokum dari haram kepada halal. Kritikan ini disebut oleh al-Alamah.Barangkali jawabannya ; yang dimaksud dengan berubah bukanlah berubah dengan al-fi’l (secara kongkrit), yakni terjadi kesukaran secara kongkrit kemudian terputus ta’alluq-nya kemudian berubah kepada mudah, akan tetapi maksudnya adalah mencakup yang datang kemudahan pada permulaannya tetapi menyalahi dengan kehendak dalil syar’i sebagaimana didukung demikian itu oleh kalam para imam. Karena itu, selain pengarang seperti al-Baidhawi menjelaskan dengan perkataannya, “jika penetapan suatu hukum yang menyalahi dalil karena ‘uzur, dinamakan rukhshah.”

(5). Jumlah kalam ini didatangkan sebagai jawaban atas kritikan, bahwa wajib makan bangkai tidak cocok disebut sebagai katagori mudah sehingga ia disebut sebagai rukhshah, karena wajib adalah sesuatu perintah yang tidak boleh ditinggalkan.

(6). Rukhshah ada yang haram dan makruh.

(7). Yang sudah dituangkan atau yang disediakan untuk istinja’

Referensi :
[1] Abdurrahman al-Syarbainy, Taqrir ‘ala Hasyiah al-Banany (hamisy Hasyiah al-Banany), Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 119
[2] Al- Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Syarh al-Jam’ul Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 121

3 komentar:

  1. cuma mau konfirmasi link back nya sudah done

    http://setya-wa2n.blogspot.com/2012/09/link-link-teman.html

    ReplyDelete
  2. Saya sangat senang sama blog abang ini apalagi isinya..sip.

    ReplyDelete